Jumat, 17 Februari 2012

TUJUH BELAS

                                                                Tujuh Belas

 Entah berapa kali?, sudah tidak lagi mampu isi otakku menampung rekamanya. Emak dan kakak-kakak selalu menanyakan perkembangan proses pencarian jodohku. Entah juga, berapa kali Emak terpaksa harus bersedih disaat menyaksikan teman-temanku dikampung sedang melangsungkan resepsi walimahan, atau sekedar melangsungkan proses lamaran. Sedang aku -anak terakhirnya- didapati belum ada tanda dengan siapa? orang mana? kapan? akan melangsungkan hal yang serupa. Padahal umurku masih dikatan mudah.

Detik demi detik berguguran dari ranting-ranting waktu. Hari, minggu, bulan, tahun, silih berganti seiring rotasi bumi. Aku masih menanti, tak cukup menanti, aku-pun ikut mencari, tak cukup juga aku, teman dan handai tolan-pun ikut-ikutan memasarkanku kesana kemari. Capek, sungkan, isin, itulah sebuah ikhtiyar yang berkali-kali harus berakhir penolakan terhadapku.

"Tuhan... Apa salahku...? tak mendengarkah Engkau aku meminta?, tak melihatkah Engkau aku susah payah berusaha?, tak ibahkah Engkau ketika aku selalu tak diterima?". Pernah suatu ketika hatiku menjerit putus asa. Lalu seketika itu aku beristighfar. Tak pantas aku berkata seperti itu.
"Saudaraku..., ana kenalkan teman ana ya?. Insyaalloh orangnya baik, tidak neko-neko. Insyaalloh juga cocok untuk antum". Entak berapa kali rekomendasi senada aku terima. Tapi...

Sungguh kakiku sudah teramat malu jika harus menjalani rekomendasi-rekomendasi yang tiada pasti. Tapi sebuah nasihat "Apa kamu malu jika berangkat ke masjid untuk menjalankan sholat?, tidak kan?. Lantas kenapa kamu harus malu ketika kamu berangkat berikhtiyar menyempurnakan separuh agama. Apa kamu lupa bahwa pernikahan itu juga ibadah?.".

"Adikku... Ingatlah bahwa jodoh adalah misteri yang disembunyikan Alloh dalam setiap lekuk-lekuk taqdir manusia. Jodoh tidak akan pernah tertukar. Pun tiada akan pernah terlewatkan. Tugasmu hanya mencari,mencari dan mecari sampai menemukan bukan menentukan. Jadi, tetaplah semangat dan khusnudzon pada Sang Pengasih dan Penyayang. semoga kamu segera mendapatkan apa yang kamu ikhtiyarkan" Sebuah nasihat yang disematkan kakak-ku beberapa hari lalu, untuk menjaga perasaanku yang kesekian kalinya tertolak dalam sebuah keikhtiyaran.

*****
Mentari masih berselimut awan, sedikit mengintip dari peraduanya didermaga mega timur. Tersenyum, menyapa seisi helaian bumi penuh dengan kehangatan, membuat embun sedikit demi sedikit beranjak dari singgasana dedaunan. Seusai menerima siraman motivasi penyejuk hati dari kajian kalam Al Hikam, maha karya Ibnu Atho'illah yang disampaikan Gus Lutfi. Aku tidak langsung pulang, masih di pesantren meneguk kopi yang ku pesan diwarung depan. Sambil diskusi ringan perihal dakwah dikalangan remaja dengan sahabat karibku Sholihin.

Sebentar saja. Getaran HP mengistirahatkanku dari menikmati kopi susu hangat, yang demi sedikit ku seruput pelan. Sebuah sms dari Ustadz "Assalamu'alaikum. Anakku..., Ana sudah kirim diemail antum, biodata seorang akhwat yang bisa antum pertimbangkan untuk menjadi teman hidup antum".

"Alhamdulillah ya Alloh...", Aku mendekik kegirangan. Andai ada tempat untuk bersujud, tentu aku akan sujud syukur.

"Kenapa kawan?" Sholihin keheranan dengan sikapku yang tiba-tiba mengejutkanya. Seolah Aku baru saja menerima kabar menang undian milyaran rupiah. Atau mendapat kabar luar biasa bahwa aku dipastikan akan masuk surga.hehehe

Aku tidak lekas menjawabnya. Masih tersenyum dengan sedikit berair mata. Aku berkata, "Fabi'aiyi alaa irobbikumaa tukadzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?, segelas kopi susu yang engkau teguk, serta seutas kabar gembira yang membuat hatimu tentram berbunga-bunga?"

Sholihin masih terbengong keheranan. Aku-pun terus tersunyum melihatnya. Lanjutku, "Tahukah engkau wahai saudaraku...?, bahwa manisnya gula dan susu dalam kopi ini, tidak lebih nikmat dari kabar yang baru saja aku terima. Hangatnya kopi susu dalam gelas ini, tak sehangat hatiku yang sedang berbunga-bunga". Kawan yang ku panggil cak kin itu pun makin terlihat penasaran.

*****

Malam-pun datang. Menggantikan siang yang baru saja berlalu ke bumi belahan seberang. Diatas sana, rembulan tinggal separuh. Dimakan usia dipenghujung petanggalan. Kerlap-kerlip prajurit langit mengedip-ngedip kearahku, seolah ingin berjatuhan kepangkuanku, untuk memberi semangat serta selamat. Ya, atas belasan lembar biodata akhwat yang belum aku baca. Tapi sudah bisa membuat hatiku memuncah.

Tak lupa Aku mensucikan diri dengan berwudu, dengan doa semoga Alloh membersihkan fikiranku dari nafsu, dan godaan syetan yang senantiasa tiada henti merusak iman. Sekarang. Aku sudah didepan meja. Bersiap menyimak huruf demi huruf yang diguratkan diatas kertas.

"Bismillahirrohmanirrohim... Ya Alloh, jika dia yang Engkau utus untuk menjadi bidadariku agar semakin mendekatkan diri kepada keridhoaanmu, maka tentramkanlah hatiku ketika membacaanya. Sejukkan perasaanku ketika melihatnya. Condongakan hatiku kearahnya. Mudahkan jalanku untuk segera menghalalinya. Namun jika sebaliknya, maka sesungguhnya aku adalah hambahMu yang berserah diri hanya kepadaMu ya Robb" sejenak abi bermunajah.

Aku buka lipatan itu. Pelan-pelan. Grogi dan semangat berkolaborasi menjadi satu. Setelah terbuka. Aku-pun dibuat tersenyum geli ketika melihat beberapa gambar anak kecil yang imut-imut sedang mengaji al qur'an dijadikan si akhwat sebagai cover biodatanya. Seolah akhwat itu ingin menghiburku dengan gambar anak-anak yang lucu menggemaskan. Aku memang suka mengoleksi gambar-gambar anak kecil. Dikedua HPku, kedua laptopku, gambar anak kecil menjadi tampilan WallPaper.

"Sepetinya engkau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku terhadap al qur'an dan anak kecil wahai ukhti..." Aku berkomentar.

Aku membacanya dengan seksama, meresapinya, memaknainya, menghayatinya. Tak ketinggalan, bayang-bayang Emak dirumah menemaniku saat membaca huruf demi huruf tulisan yang ditorehkan si akhwat dalam belasan lembar biodatanya. Aku terkesima luar biasa ketika sampai pada tulisan 'Hatam Al qur'an setiap bulan, Sholat Tahajud, dhuha, hajad, rowatib tidak pernah ketinggalan, puasa senin kamis dan puasa pertengahan bulan istiqomah tak terlalaikan'.

"Subhanalloh...", Berkali-kali untaian dari lisanku yang sedari tadi tertegun diam. Kalimat ketakjuban atas dia yang menceritakan kepribadianya yang sholehah, terutama atas-Nya yang telah menciptakan hambah yang sesholehah dia. Mesti aku tak pernah ketinggalan sholat seperti sholat-sholat yang dia lakukan, tilawah bisa dua sampai tiga kali hatam dalam setiap bulan. Tapi aku jarangan puasa sunnah. Aku masih kalah dibandingkan denganya. Sekali lagi subhanalloh... Hampir Aku lupa untuk bernafas ketika membacanya.

Dan lihatlah fotonya...

"Subhanalloh..., matanya..." Aku tertegun, teringatlah penggalan ayat al Qur'an. "Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, ( Surat Al Waqi'ah). Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. (Surat Shood)."

"Masyaalloh..., anggunya..." Kembali Aku tertakjub, terlintas ayat al qur'an, "Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. (Surat Ath Thuur).

"Laa ilaaha illalloh..., caranya menatap..." Lagi aku terkesima, menyanjungnya dengan bahasa kalam Tuhan "Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin. (Surat Ar Rohman;56).

"Ya Alloh..., paras wajahnya... Dia itu..., 'Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan (Surat Ar Rohman;58). Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik- baik lagi cantik-cantik (Surat Ar Rohman;70). -bidadari-bidadari- yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah (Surat Ar Rohman;72). Maka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? "

"Ya Alloh... Hambah kira bidadari itu hanya ada dalam cerita Jaka Tarub saja. Ternyata sekarang masih ada. Jika kata orang syurga dunia itu ada?, Maka bidadari dunia itu juga ada. Dan dialah orangnya," Aku tak tahan untuk tidak mengagumi akhwat yang ada dalam proposal biodata itu.

Bayangan Emak membuyarkan ketakjubanku. Mengingatkanku akan wejangannya tempo dulu. Wejangan itu terngiang-ngian dalam relung-relung selaput pendengaranku, "Wes gak usah pilah-pileh. Sak ono'e wae. Senajan kelakuane elek kapan wes dinikahi lak dadi api'e. Seng penting NIKAH!!!. ". Untaian kalimah yang disampaikan Emak beberapa waktu yang aku tidak lagi ingat kapan. Wejangan yang didengar sekilas akan terasa kurang tepat, namun aku hanya menanggapinya sebatas bentuk 'kegemesan' Emak kepadanku yang senantiasa tiada jeluntrung ditengah jalan.

"Tenang Mak..., yang ini jauuuuuh dari katagori jelek. Bahkan ini lebih dari katagori baik,hehehe" Aku menjawab wejangan Emak yang seadang mengiang-ngian diingatanku.

Teringat pula pada petuah Ibu angkatku. Ibu angkat yang banyak memberiku bimbingan moral dan spritual. "Ibu setuju karo coromu golek bojo le,,,. Gak pacaran, cukup lewat tulisan lan pelantaraan ustadz. Iku luwe resek lan suci soko nafsu seng ora-ora. Pesen ibu. Mong golek pasangan urip iku kudu ngerti BIBIT BEBET lan BOBOTe, nah kapan wes ngerti lan wes mantep, ojo suwi-suwi!, ndang langsung di BABAT. Ben gak kedisikan wong liyo."

Lanjutnya. "Ndisikno wong liyo marang urusan sosial iku apek, tapi ndisikno wong liyo marang urusan ibadah iku makruh. Lah, nikah iku mono kuwi ibadah. Ibarat kok wong wadon iku shof paling ngarep, kudu dadi rebutanne wong seng arep sholat. Dadi pesen Ibu. Kapan wes ngerti lan mantep BIBIT BEBET lan BOBOTe, ndang langsung di BABAT". Pesan yang waktu aku menerimanya sempat terpingkal-pingkal saking lucunya dengan istilah BIBIT BEBET BOBOT, BABAT!!!.

"Injih ibu. Abi bakal langsung BABAT kados petuah Ibu". Kembali Aku menimpali petuah-putuah Ibu sedang mondar-mandir difikiranku.

Setelah merampungkan membaca biodata akhwa itu. Seolah Aku terhipnotis dengan kesholehahannya, pula terbius dengan wejangan-wejangan Emak dan petuah-petuah Ibu. Saat itu juga Aku ambil HP, dan menulisa sms "Askum, ustadz, monggo LANJUTKAN. Dari ana, menyambut dengan suka cita. Silahkan diproses untuk ditaarufkan", kepada Ustadz sms itu dia sampaikan.

Mungkin terkesan sangat kesusu. Bagaimana tidak, biasanya Aku membutuhkan waktu yang tidak cukup beberapa hari untuk mempertimbangkan antara lanjut atau tidak. Lah, biodata ini, kurang dari beberapa menit saja, Aku langsung bisa memberi keputusan. Entah karena terlalu rindu menanti, capek mencari, atau memang pengkabulan doa agar dicondongkan kepada si akhwat jika itu mamang baik sebagai istri. Atau memang ada pertanda lain....?

"Menyegerarahkan memang dianjurkan. Tapi tidak harus tergesah-gesah. Ana beri waktu satu hari lagi untuk antum mempertimbangakannya dalam-dalam", Balas ustadz menenangkanku yang menggebu-nggebu.

*****
Adalah hari ke tiga belas sejak Aku membaca proposal biodata ukhti Rina. Ya, namanya Rina Wijayanti. Berarti juga hari ke tiga belas Aku menanti berita keberlangsungan jawaban hidupku dengannya. Akankah hanya sampai pada sebatas carikan kertas, atau akan lebih indah dalam jalinan kehidupan rumah tangga yang sakinan mawaddah warohmah dalam naungan ridhoNya?

Tiga belas hari yang menggelisahkan. Otakku sudah kelabakan. Menghitung satu jam laksana enam puluh menit. Sehari seperti dua puluh empat jam. Seminggu seakan tujuh hari. Padahal memang seperti itulah kalkulasi waktu demi waktu. Bagiku. Tiga belas bulan tanpa penantian, tidak ada apa-apanya bila dibanding tiga belas hari penuh dengan penantian yang belum ada kepastian.

Gelisah Aku gelisah. Setiap HP bergetar, selalu mengandung harapan akan sebuah kabar "Anakku..., akhwatnya bersediah untuk dita'arufkan, antum ada waktu kapan?". Dan Aku-pun akan langsung menjawab "Alhamdulillah ya Alloh... Kapan saja ana siapa ustadz...!".

Namun. Tidak ada isi SMS yang seperti itu, tidak ada juga jawaban yang seperti itu. Itu hanya halu sinasi dari sebuah gundukan pengharapan yang mengkarang. Yang kokoh menyambut bahtera kabar selanjutnya.

*****

Lagu sholawat melantun indah dari HP-ku. Aku yang sedang khusyuk muroja'ah hafalan al qur'an, harus berhenti dan mengangkatnya. Ustadzku menelfon. "Asslamu'alaikum... Anakku..., bagaimana kabar antum?"

"Baik ustadz... Ada yang bisa ana bantu ustadz?" Aku menjawab sopan.

"Kapan antum punya waktu untuk dita'arufkan?", tanya ustadz

Aku terkejut bukan kepalang. Senang, haru, suka, cita, gembira, berbaur menyatu. Kaliamat 'Kapan antum punya waktu untuk ta'arufan?' bernyanyi-nyani di sela-selala pendengaranku. Beberapa kali ustadz menyapa 'Halo'. Aku tidak memperdulikanya. Telingahku masih asyik dengan nyanyian lagu ta'arufan. Sedang mataku sedang menikmati tayangan akan sebuah proses menuju pelaminan dalam alam lamunan.

"Anakku... Antum baik-baik saja kan?. Istighfar Anakku...". Kembali Ustadz menyapa. Bukan menyapa, tepatnya menyadarkanku.

"Iya ustadz, afwan...", Aku menjawab dengan suara malu-malu.

*****

Malam ke tujuh belas. Gelapnya malam sudah kembali datang. Inilah malam yang membuat hatiku deg-degan. Tidak seperti malam-malam yang lalu. Malam ini berbeda, suhu udaranya, terang cahanya, hiruk pikuknya, tapi seperti bukan karena itu yang membuat tidak sama. Mungkin lebih karena malam ini akan menjadi saksi atas sebuah proses ta'arufan yang sebentar lagi terjadi.

Aku sudah diatas pangkuan motor kesayanganku. Melajukanya pelan-pelan menuju rumah Ustadzku. Sepertinya malaikat-malaikat sedang mengikuti. Aku melajukan tanpa hambatan. Lampu merah yang kulalui selalu menghijau, antrian kendaraan seolah membelah memberi kesempatan untuk melaju dulu. Subhanalloh...

Sesampai dikediaman Ustadz. Aku disambut dengan kabar yang tiada bahagaia. Orang tua ukhti Rina, mendadak harus dilarikan kerumah sakit karena sakit jantungnya tiba-tiba kumat.

"Mohon maaf anakku, proses ta'arufan antum untuk sementara terpaksa dipending dulu. Besok ana dan istri hendak menjenguk kerumah sakit. Antum mau ikut kan?". Ustadz menawariku. Setelah menjelaskan panjang lebar.

"Iya ustadz, ana ikut". Aku menjawab sedikit menahan sedih.

"Gagal lagikah?. Ya Alloh,,,." aku hanya berani membatin.

Siang telah datang.

Kita bertiga sudah diarea rumah sakit. Aku, ustadz serta istrinya sedang berjalan menuju kamar dimana orang tua ukhti Rina dirawat. Ruang Sakinah kamar 17. Tidak terlalu susah bagi ustadz untuk mencari lokasinya. Karena memang beliau juga pernah dirawat diruangan yang tergolong VIP itu. Dikamar 17, kami disambut seorang ibu-ibu yang aku yakini adalah ibunya ukhti Rina. Tidak terlalu sepuh, masih sepuhan Emak dirumah.

Aku menyalami dengan tak lupa mencium tangannya. Beliau memperhatikanku, kemudian menyapaku "Ini mas Abi ya?", sambil tanganya mengelus kepalaku.

"Iya ibu...", aku tersenyum menghadapnya.

Diranjang pesakitan, seorang bapak-bapak terbangun dari istirahatnya. Sepertinya itulah Pak Ridwan, bapak ukhti Rina. Ustadz mendekati, dari belakang aku mengikuti.

"Assalamu'alikum...," Ustadz menyapa.

"Wa'alikumussalam...," Beliau menjawabnya dengan sedikti terbatuk.

"Ini mas Abi ya?" Pertanyaan yang sama ditujukan kepadaku. Sepertinya semua orang disini sedang penasaran terhadapku. Mungkin mereka tau dari foto yang aku selipkan di biodataku.

"Iya pak. Ini mas Abi...", aku hanya tersenyum mengiyakan. Melainkan ustadz yang memberi jawaban. Ustadz berbincang kesana kamari tentang keadaan pak Ridwan pada bu Lastri, istri pak Ridhwan.

Dengan panjang lebar, bu Lastri menceritakan kronologi kejadian pak Ridwan yang tiba-tiba harus dilarikan kerumah sakit. Aku hanya terdiam mendengarkan. Turut berduka atas taqdir sakit yang harus dijalani pak Ridhwan. Sedang ustadz dan istrinya selang seling menyemangati agar tetap sabar, tabah dan tawakal kepadaNya. Karena sakit adalah ujian pelebur dosa-dosa bagi hambah yang ikhlas menjalaninya.

Aku sebarkan pandanganku. Tak aku dapati siapapun selain kami berlima. "Dimana ukhti Rina berada?", hatiku bertanya-tanya.

"Mas Abi...." Pak Ridhwan memanggilku. Beliau yang sedari tadi hanya diam, tiba-tiba memanggil namaku. Aku terperanjat dari pencarian anganku.

"Dalem Pak Ridhwan...," aku menimbali. Sejurus kemudia mendekat ke tampat beliau berbaring.

"Bapak tidak tahu sampai kapan umur Bapak diperpanjang oleh Alloh. Mungkin sebentar lagi ruh ini akan berpisah dari jasad. Atau tinggal beberapa tahun lagi. Hanya Dia SWT yang tahu. Karena kematian adalah urusan ghoib yang disembunyikan." berkata pak Ridwan sambil menahan batuk. Aku masih khusyuk menyimak.

Lanjut beliau. "Impian besar bapak sebelum Alloh memanggil. Bapak bisa menyaksikan putri Bapak menikah. Bersediahkah mas Abi saya nikahkan dengan putri Bapak sekarang juga?"

Apa yang disampaikan pak Ridwan sungguh mengagetkanku. Aku melihat ustadz-pun sepertinya sama kagetnya dengan aku. Aku kembali tatap wajah pak Ridhwan. Wajah yang damai, sejuk, menentramkan meski sedang menahan sakit. Sejenak. Seolah tiada tanda-tanda kehidupan. semaunya terpaku diam. Hanya detak langkah jarum jam yang masih bersuara. Aku masih menatap wajah pak Ridhwan. Dari pandangannya, tersirat harapan besar agar aku bersediah menikah dengan anaknya.

"Saya yang seharusnya meminta restu pak Ridhwan, bukan Bapak Ridhwan," Entah dari mana kalimat itu terungkap. Lidahku sepertinya tak aku gerakan. Tapi itu suaraku, bibirku-pun bergetar saat suara itu keluar.

"Alhamdulillah..." Serentak. Kalimat puji syukur kepada Alloh Sang Penguasa mayapada menggelegar seantero ruangan. Mata bu Lastri kulihat menganak sungai. Begitu juga ustadz dan istrinya. Sedang mataku sudah tergenang sejak pak Ridhwan menyampaikan permohonannya.

"Kreeek", sura pintu dibuka. Seorang gadis tak berkerudung masuk memecah suasana. Aku tidak tahu siapa.

"Rin...,?" DEG. Aku terjerambab kaget ketika bu Lastri memanggilnya Rin. "Apakah dia Rina?", batinku tak percaya. Wajah dan caranya berpakaian bertentangan 360 derajat dari foto yang ada dibiodatanya.

Aku memendam api tak terima. Ingin rasanya mencabut berkataanku yang tadi mengabulkan permohonan pak Ridwan. Aku merasa didholimi. Bagaimana bisa, akhwat yang tidak pernah lepas dari sholat, puasa, tilawah berdusta dengan sebuah biodata. Aku bersedih tiada daya. Hatiku tak bisa menerima sebuah kedustaan, tapi jiwaku tak tega melihat pak Ridhwan yang sedang kesakitan. Bisa mendadak wafat jika aku gagalkan renca kesediaan pernikahanku.

"Ya Alloh..., Apakah ini taqdir yang Engkau tuliskan untuk ku adegankan diduniaMu ini?. Kuatkan aku ya Alloh". Aku menangis dalam hati.

"Mana Rina?". Tanya bu Lastri. Wesss. Ada angin segar terlintas ditelingahku. Kabar baik, gadis tadi bukan ukhti Rina. Aku mungkin salah sangka.

Seorang gadis berjilbab pink muncul dari daun pintu. Jilbab panjang yang dia kenakan, selaras dengan paras wajahnya yang cantik menawan. Aku-pun tak tahu dia siapa. Gadis itu sepertinya habis menangis, matanya yang lentik berbekas air mata yang baru saja diseka. Sekilas, wajah gadis itu mirip dengan foto ukhti Rina. Tapi kecantikan wajah gadis itu masih bisa mengalahkan kecantikan foto calon belahan jiwaku. Pendapatku. Jika artis barat Avril Lavigne memakai jilbab, mungkin sepadan itulah wajah gadis itu. Dia tersenyum kepadaku. Lalu mengarahkan senyum dan tubunya untuk dipeluk Bu Lastri. Subhanalloh..., gadis itulah Rina. Rina Wijayanti. Dia menjelaskan bahwa sudah mendengar semua pembicaraan kami dari balik pintu.

Semua setuju. Ustadz memanggil dokter yang merawat pak Ridhwan untuk jadi saksi bersamanya. Aku menelfon Emak dirumah. Aku jelaskan semua kronologi proses ta'arufan yang gagal sampai pak Ridhwan yang harus dilarikan kerumah sakit. Jawab Emak dari seberang telepon, "Menikahlah anakku, Emak dirumah merestuimu. Sampaikan salah Emak untuk menantu Emak, pak Ridhwan dan bu Lestari"

Taqdir Alloh, tujuh hari yang lalu. Aku berniat menabung mas kawin. Aku membeli satu kalung dan cincin, serta satu al qur'an edisi khusus wanita. Semua barang itu masih didalam tas punggungku yang aku tenteng kemana-mana. Sedang ukhti Rina hanya request mas kawin berupa Murojaah hafalan sebagian Surat Maryam dan seluruh Surat Ar Rohman. Aku tidak keberatan. Karena surat yang dia minta sudah aku Hafal.

"Qobiltu Nikahaha Wa Tazwijaha Rina Wijayanti binti Haji Ridhwan Bil Mahril Madzkuron. Haalan". Aku menjawab Ijab yang dibawahkan oleh pak Ridhwan selaku wali ukhti Rina. Didalam kamar 17. Disaksisakn Dokter Fajar dan Ustadz. Dengan mas kawin, cincin dan kalung serta al quran yang sudah aku beli. Dan uang tunai yang aku ambil di ATM.


By Mizan.
@
Infomedia-Graha BNI-Surabaya 02/02/2012 jam 23.57.

4 komentar:

  1. yakinlah bahwa ALLAH akan memberi yang kita butuhkan

    BalasHapus
  2. intinya harus sabar dan yakin berarti ya..?

    BalasHapus
  3. ingat jaman dulu waktu masih muda

    BalasHapus
  4. jadi ingat dulu waktu masih mudda

    BalasHapus

terima kasih atas kunjungan dan saranya